Warga bisa berjalan ke ujung kota tanpa harus menyentuh kaki di tanah. Cukup meloncat-loncat kecil antar bangunan.
Kowloon Walled City/Smart Planet
Bayangkan hidup di lokasi sempit, kotor, kumuh, tak ada jarak privasi dengan tetangga, bahkan untuk menonton TV harus Anda lakukan di atap landai beralaskan semen. Itu pun harus bersama tetangga lain yang juga memiliki hidup sama kerasnya dengan Anda. Jangan mengira di atap itu Anda bisa melihat langit cerah. Melainkan deretan tembok lusuh dengan jejeran jemuran pakaian tetangga.
Anda tak bisa mengeluh pada petugas keamanan mengenai kondisi lingkungan atau pun adanya tindak kekerasan di situ. Karena memang penguasa wilayah itu adalah para anggota gangster, mucikari, dan pengedar obat-obatan. Ini jadi sedikit bayangan kondisi keadaan di Kowloon Walled City, Hong Kong. Lokasi seluas 0,03 kilometer persegi yang dijejali 50 ribu penghuni liar dalam 350 bangunan bertingkat nan kumuh. Wilayah ini tadinya menjadi pos militer China, namun saat bangsa Inggris mengklaim Hong Kong di tahun 1898, Walled City ditelantarkan.
Mulai tahun 1950 hingga 1970-an, kota ini diambil alih oleh kelompok mafia, Triad. Di tangan mereka, kota ini menjadi pusat rumah bordil, kasino, dan opium. Tak ada polisi yang berani patroli datang kemari. Jika pun akhirnya muncul, haruslah pasukan bersenjata berat untuk bisa mengatasi serangan Triad.
Namun, secara sosial kehidupan di Walled City berjalan relatif damai. Beberapa foto yang diterbitkan dalam buku City of Darkness, menunjukkan kehidupan "normal" masyarakat perkotaan. Anak-anak bermain bola, masyarakat yang saling berkunjung satu sama lain, atau menyaksikan TV bersama. Kehidupan keras membuat para penghuninya menjalin ikatan kuat untuk menolong satu sama lain.
Padahal dalam rambu kesehatan, kehidupan mereka jauh dari standar kelayakan. Satu keluarga tinggal berdesakan dalam ruangan seluas 23 meter persegi. Kepadatan bangunan bahkan membuat warganya bisa berjalan ke ujung kota tanpa harus menyentuh kaki di tanah. Cukup meloncat-loncat kecil antar bangunan.
Menurut Suenn Ho, arsitek asal Amerika Serikat yang mempelajari kota ini, "Walled City menunjukkan apa yang rela orang berikan untuk menghemat uang. Mulai dari sinar matahari, udara segar, bahkan ruang," katanya seperti dilansir NY Times edisi Juni 1992.
Kondisi Walled City mulai berubah di tahun 1970-an ketika polisi mengambil tindakan tegas dengan menyisir gerombolan Triad.
Pihak berwenang menangkap 2.500 pelaku kriminal dan menyita lebih dari 1.800 kilogram obat-obatan terlarang.
Sejak saat itu, kota ini mulai sering dikunjungi badan amal, masyarakat gereja, dan perlahan mulai masuk layanan publik seperti pengiriman surat dan air bersih. Namun, usaha ini tak menyelamatkan nasib Walled City yang diputuskan akan dihancurkan pada tahun 1987. Tujuh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1994, kota ini sudah tidak ada lagi. Wujudnya saat ini menjadi taman wisata bernama Kowloon Walled City Park.
(Zika Zakiya. Sumber: Smart Planet, NY Times)
Sumber: National Geographic Indonesia